PELAJARI HIV, HENTIKAN STIGMA DAN DISKRIMINASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
Main Article Content
Abstract
Stigma kepada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tergambar dalam sikap sinis, perasaan akan ketakutan yang berlebihan serta pengalaman negatif terhadap ODHA. Isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan di berbagai bidang kegiatan masyarakat seperti dunia pendidikan, kerja dan layanan kesehatan merupakan bentuk stigma yang sering terjadi. 1 Diskriminasi adalah bentuk pembatasan ekspresi ataupun pencegahan seseorang terhadap suatu akses pelayanan.
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) seringkali dijadikan sebagai sasaran diskriminasi di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka mengalami pengucilan oleh masyarakat sekitar. Baru baru ini 14 murid SD yang mengidap HIV di Solo dikecam oleh orangtua siswa lainnya agar dikeluarkan dari sekolah mereka dikarenakan orangtua siswa lainnya takut anak-anak mereka tertular HIV.2 Hal yang serupa terjadi pada 3 anak pengidap HIV di Samosir, mereka terancam diusir dari sekolah bahkan masyarakat mengultimatum agar ketiganya diusir dari Kabupaten Samosir. Alasan yang sama dilontarkan oleh masyarakat setempat yang takut bila anak-anak mereka tertular HIV dari ketiga anak tersebut.3
Tidak hanya didalam negeri, berbagai diskriminasi juga diterima oleh penderitanya diluar negeri. “Putriku menolak pergi kerumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Putriku meninggal karena takut akan stigma dan diskriminasi yang dicap oleh masyarakat”. Kalimat tersebut diucapkan oleh seorang nenek dari Ghana yang kehilangan putrinya yang juga merupakan ODHA.4
Penelitian Maharani (2014) yang bertujuan untuk mengetahui informasi tentang stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan di Kota Pekanbaru bahwa diskriminasi dalam bentuk dilecehkan secara lisan dengan mengatakan penyakit HIV dengan nada lantang, pemberian makan dibawah pintu, seprai tidak diganti-ganti dan sebagainya. Meskipun telah mendapat pelatihan, masih ada petugas kesehatan yang merasa cemas ketika berhadpaan pasien ODHA terutama di ruang rawat inap. Berikut penuturannya:
“Yaaa pada saat menangani pasien HIV/AIDS perasaan cemas pasti adalah., karena kita tidak tau pori-pori tangan kita terluka.. tubuh kita terluka, sandal kita, mungkin pada saat operasi kejatuhan cairan darah, ketuban pada saat section itu biasanya muncrat.. tetap kita ada cemas dalam menanganinya”
Penuturan lainnya diungkap oleh ODHA yang berkunjung ke dokter gigi. Berikut penuturannya:
“Waktu saya pergi ke dokter gigi, jadi pas saya duduk dikursi pelayanannya,, ibuk itu kan pegang status RM saya,, tanpa sengaja dia liat kode nomornya saya,, langsung berubah ekspresinya terkejut melihat kode itu, (saya liat sendiri ekspresinya berubah), dokter itu tiba-tiba menoleh kekamar belakang membilang ke perawatnya, “heeehh kok nggak bilang itu pasien HIV (dengan suara agak berisik), kemudian dokter itu balik lagi ,, dia pake sarung tangan , masker, kacamata, disuruhnya saya membuka mulut.. kemudian diliatnya.., Oh ini nggak pa pa.. (padahal waktu itu gigi saya berlobang,, jadi niat mau dicabut biar ga sakit lagi),, tapi nadanya ketus seperti mau marah marah,, padahal awalnya ramah aja, bilang gini “liat giginya,, hhmmm nggak pa pa ini,,, Tapi kan buk saya dirujuk tadi disini suruh cabut buk,”siapa bilang,”Nggak pa pa kok”, Kan saya yang dokter gigi, bukan mereka… yaa sudah sana keluar”5
Berbagai stigma dan diskriminasi yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis menuangkan informasi yang didapat ke dalam artikel ini, penulis berharap akan membuka wawasan dan merasakan penderitaan para ODHA sehingga bisa meningkatkan rasa empati kita mengenai HIV/AIDS sehingga stigma dan diskriminasi terhadap ODHA bisa dihentikan.